Home » » Jalan Asmaradana

Jalan Asmaradana

CERPEN “JALAN ASMARADANA” KARYA KUNTOWIJOYO
Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.”
Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.”
Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.
Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.
“Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.
Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.
“Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang.
“Gotong-royong kita sangat bagus.”
“Kita masih punya semangat empat-lima.”
Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.”
Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya. Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah.
Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal.
“Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.”
“Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon.
“Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar.
“Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.”
“Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami.
Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa.
Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus.
Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar.
Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.
Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab.
“Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.”
“O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya.
“Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.”
“Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk.
Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi.
“Pagi-pagi sekali, dari mana?”
“Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”.
“Lho, kok?”
“Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.”
Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman.
“Di mana kalian? Kami kalah.”
Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali.
“Di mana?”
“Sini!”
Berulang-ulang.
Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.
Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu.
“Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.”
“Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.”
“Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan.
Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar.
“Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.”
Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.
Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.
Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih.
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.
“Kok menyapu sendiri, Pak?”
“He-eh, tidak ada yang disuruh.”
Lain hari perempuan itu lewat lagi.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”
“He-eh, habis bagaimana lagi.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”
“Ya tidak ada.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”
“Mau saja.”
Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.
Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya.
Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!
Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.”
Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri.
Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.
Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain.
Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. *

Yogyakarta, 23 Februari 2004
Sumber: Kompas Minggu, April 2004






Analisis Unsur-unsur Intrinsik dan Aliran Sastra
Dalam Cerpen “Jalan Asmaradana” Karya Kuntowijoyo

A. PENDAHULUAN
Cerpen merupakan salah satu genre sastra selain novel, puisi, hikayat, dan naskah drama. Seperti halnya novel, cerpen dapat dikategorikan sebagai karya prosa fiksi. Cerita pendek sering disebut sebagai cerita rekaan yang relatif pendek karena dapat selesai dibaca dalam satu kali pembacaan. Dalam penyajiannya, cerpen disusun secara cermat dan hemat serta berfokus pada satu pokok permasalahan. Cerpen yang berjudul Jalan Asmaradana memiliki pesan moral yang mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma dalam masyarakat. Nilai-nilai moral yang digunakan dalam cerpen ini tidak bersifat menggurui atau memberatkan, sehingga pesan-pesan moral itu dapat dipahami pembaca atau penikmat sastra dengan baik. Cerpen pemenang Kompas 2005 ini ditulis oleh Kuntowijoyo, Rt 03 Rw 22: Jalan Belimbing Atau Jalan Asmaradana adalah cerpen unik, lugas, yang menceritakan kahidupan di masyarakat dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang akrab di telinga kita. Di dalam cerpen karya Kuntowijoyo ini saling berkaitan hubungan antara manusia dengan dirinya, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Di samping itu cerpen ini juga menarik dan menggoda penulis, karena apresiasinya dari sudut pandang sosial yang tidak jauh dari lingkaran aktivitas sehari-hari kita sebagai makhluk sosial. Untuk mengapresiasi cerpen ini dibutuhkan pendekatan yang mampu menghubungkan karya sastra tersebut dengan situasi sosial tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai untuk mengapresiasi cerpen ini adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang memusatkan perhatian pada aspek-aspek sosiologis sastra, atau membicarakan “hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat” (Suwignyo, 2008:27). Sementara itu, menurut Marjan (2008) pendekatan sosiologis ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan , masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, sosiologis cerpen Jalan Asmaradana sebagai karya sastra yang mencerminkan kehidupan nyata dalam masyarakat, akan sangat mudah kita pahami dan kita hayati maksud penulisannya apabila menggunakan pendekatan sosiologis karya sastra. Pendekatan sosiologis dapat menghubungkan antara pengarang sebagai individu atau tipe dengan keadaan yang khas dari era kultural tempat pengarang/ para pengarang itu hidup dan menulis; hubungan antara karya sastra dengan masyarakat yang digambarkannya atau yang dituju (Suwignyo, 1989:37).

B. PEMBAHASAN
Cerpen “Jalan Asmaradana” dalam makalah ini memiliki unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian penting dalam terbentuknya sebuah cerita. Unsur-unsur tersebut adalah Tema, Alur, Tokoh Penokohan, Latar/Setting, Sudut Pandang, dan Amanat. Di samping itu dalam makalah ini juga di bahas tentang aliran yang masuk ke dalamnya.

1. Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Jalan Asmaradana
a. Tema
Cerpen berjudul Jalan Asmaradana karangan Kuntowijoyo ini merupakan cerpen yang bertema sosial yang didalamya mempunyai masalah akan nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat. Cerpen ini dapat kita apresiasi dengan mudah karena memiliki hubungan yang tidak jauh dari kita sebagai pembaca dan masyarakat umum, karena isi dalam cerpen ini membahas tentang kehidupan di masyarakat. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:
“Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid….”(2)
.Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa masalah yang terjadi dalam cerpen tersebut bermula karena keanehan yang dilakukan seorang warga yang membuat para tetangga merasa tidak nyaman sehingga muncul sebuah konflik di dalamnya. Dari situlah tema di temukan.
b. Alur
Cerpen ini menceritakan tentang suasana masyarakat di daerah Perumnas yang padat penduduk, sekaligus padat masalah. Masalah yang terjadi di daerah tersebut tidak jauh dari urusan cinta dan kenyamanan penduduk yang bertetangga. Cerpen berjudul Jalan Asmaradana menggunakan Alur konvensional yaitu waktu dalam cerita berurutan dari periode pertama sampai periode akhir, dengan alur maju yang diceritakan secara beruntun mulai dari perkenalan tokoh utama dan tokoh-tokoh lain sebagai pendukung, hingga adanya penyelesaian masalah. Semua tokoh seolah-olah dihidupkan oleh pengarang cerpen ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut :
“…Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM…” (hal. 2).
Kemudian di paragraf dilanjutkan :
“Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya…” (hal. 4)
Dalam kutipan di atas alur bergerak secara berurutan karena tidak ada lompatan waktu ke masa lalu, sehingga menggunakan alur maju.
c. Tokoh Penokohan
Dalam cerpen “ Jalan Asmaradana” tokoh utamanya adalah Pak RT, seorang lulusan S3 dari Universitas papan atas di Amerika yang memiliki sikap realistis dan cerdas dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Tokoh pertama yang diceritakan oleh pak RT adalah temannya Nurhasan, yang memandang hidup sebagai suatu tragedi yang selalu tidak menguntungkan bagi orang baik. Ia selalu mengungkapkan bahwa kaum yang lemah tidak pernah mendapat keadilan,hal itu di ungkapkannya dengan pernyatan protes dan sindiran. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:
…Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoeng-ngoeng mobil pejabat, dia akan berkomentar, Dengar itu sang Menteri korup lewat...(hal. 1)
Namun berbeda dengan temannya Kaelani, yang memandang hidup sebagai sebuah lelucon atau komedi yang selayaknya dinikmati dengan santai tanpa harus bersusah-susah memikirkan perlakuan yang secara moral dirasa tidak adil bagi kaum lemah. Semua dijalani sebagai suatu kemakluman terhadap tindakan orang –orang yang hanya mencoba memenuhi kebutuhan hidup, tanpa terkecuali orang yang dipandang baik tetap saja harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup secara materi juga. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:
…Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau sudah rusak diproyekkan. Semua orang DPRD, kepala dinas dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”...(hal. 1)
Pak RT kemudian menceritakan tokoh-tokoh pembantu yaitu Said Tuasikal beserta istri yang merupakan warga pendatang di RT-nya dengan sifat keras dan mudah terusik kesabarannya, lalu Pak Dwiyatmo yang memiliki sifat misterius dan sangat sulit berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Selain itu juga ada tokoh lain seperti ibu RT yang selalu setia mendampingi Pak RT dalam menjalankan tugas RT-nya. Tokoh Pak Dwiyatmo yang digambarkan tertutup terhadap orang lain, membuat tokoh Said Tausikal dan istrinya merasa tidak nyaman ketika tinggal dirumahnya sendiri. Istri Said Tuasikal dari budaya Jawa yang dikenal halus dan ramah, sedangkan budaya Ambon yang cenderung keras dan terang-terangan ketika menegur orang lain, tampak bertahan mulai dari awal hingga akhir cerita. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
“Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi, istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat.”Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.” (hal. 5)
Tokoh-tokoh di atas menghadirkan sifat-sifat yang lengkap, cerita yang dibangun berjalan sangat alami. Hal ini menyebabkan setiap tokoh memiliki karakter yang tidak berubah mulai dari awal hingga akhir cerita. Tokoh saya yang digambarkan sebagai Pak RT yang rendah hati, baik, serta jujur sementara istrinya digambarkan baik dan menurut dengan suami. Tapi Ketua RT dalam hal ini belum mampu membina disiplin yang merupakan salah satu nilai moral terhadap diri pribadi. Ketidakdisiplinan itu membawa dirinya kepada perasaan bersalah. Kesadaran dan kejujuran dari dalam diri inilah yang memberi pelajaran kehidupan bagi kepribadiannya. Tokoh saya sebagai Ketua RT, jujur bahwa dirinya telah gagal untuk mendamaikan perkara dua warganya, yaitu Dwiyatmo dan Said. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut :
“Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu.” (hal. 5)
Perasaan malu dan kejujuran yang di miliki tokoh saya dapat diambil sebagai contoh nilai moral untuk diri pribadi. Di samping itu Tokoh saya sebagai ketua RT juga mempunyai moral yang baik kepada warganya. Dia mampu menjaga hubungan baik dengan warganya walaupun dia gagal menjaga hubungan baik antara dua warganya yang berselisih. Ini menunjukkan bahwa ketua RT mempunyai nilai moral yang saling berhubungan antara manusia dengan diri pribadi, dengan lingkungan sosial dan juga dengan tuhan.
d. Latar
Dalam cerpen "Jalan Asmaradana", latar tempat yang digunakan adalah di Perumnas, bagian perumahan dosen. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
“Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah.” (hal. 1)
Juga dalam kutipan berikut :
“Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3.” (hal. 2)
Sementara itu, latar waktu yang digunakan adalah malam hari, siang hari, pagi hari, dan sore hari. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut :
“Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok..” (hal. 2)
Juga dalam kutipan berikut :
“Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.” (hal. 3)
e. Sudut Pandang
Dalam cerpen Jalan Asmaradana menggunakan sudut pandang orang pertama (saya), yang terdapat dalam kutipan berikut :
“Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.” (hal. 1)
Kemudian menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia), yang terdapat dalam kutipan:
“Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.”” (hal. 2)
f. Amanat
Dalam cerpen tersebut kita dapat mengambil amanat bahwa dalam hidup bermasyarakat kita harus dapat bersosialisasi yang baik, terutama dengan tetangga. Hal tersebut sangat penting karena berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu sebagai makhluk sosial kita juga harus saling mengerti dan memahami antar sesama agar tidak menimbulkan konflik atau masalah.




2. Aliran sastra yang masuk dalam Cerpen Jalan Asmaradana
Dalam cerpen Jalan Asmaradana terdapat Aliran Realisme. Aliran realisme ialah aliran yang mengemukakan kenyataan yang bersifat obyektif karena pengaranag melukiskan dunia kenyataan. Dalam aliran ini menggambarkan seperti apa yang tampak, tidak kurang dan tidak lebih. Rasa simpati pengarang terhadap obyek yang dilukiskannya, tak boleh disertakannya. Dengan begitu pengarang dalam cerita tidak ikut bermain, dia hanya sebagai penonton yang obyektif. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut :
“Rt 03 Rw 22: Jalan Belimbing Atau Jalan Asmaradana ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram.” (hal. 1)
Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa cerpen jalan asmaradana berada di Rt 03 dan Rw 22: Jalan Blimbing, yang merupakan daerah terjadinya cerita dalam cerpen tersebut.
kemudian :
“Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragic-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.” (hal. 1)
Kutipan di atas konflik antara Pak Dwiyanto dan Said tausikal seperti tampak nyata, karena nuansa cerita yang digunakan tentang kehidupan sehari – hari, hal itu tidak menutup kemungkinan juga di alami oleh sebagian orang di masyarakat. Dalam cerpen ini melibatkan tokoh secara umum, sehingga pembaca mudah dalam memahaminya.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap unsur Intrinsik dan Aliran Sastra yang terdapat dalam cerpen Jalan Asmaradana dapat disimpulkan bahwa cerpen tersebut bertemakan sosial yang menggunakan alur maju, yang mana tokoh utamanya adalah pak RT dan tokoh pembantu yaitu Said Tuasikal beserta istri, Pak Dwiyatmo, dan ibu RT. Dalam cerpen tersebut latar tempat di Perumnas, bagian perumahan dosen, dan latar waktu saat malam hari, siang hari, pagi hari, dan sore hari. Di samping itu sudut pandang yang digunakan yaitu sudut pandang saya dan sudut pandang dia, serta terdapat amanat bahwa dalam hidup bermasyarakat kita harus dapat bersosialisasi yang baik. Aliran yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah Aliran Realisme.

DAFTAR PUSTAKA
file:///E:/aliran-sastra.htm
http://www.scribd.com/doc/25373240/Aliran-sastra
http://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo
Diponegoro, Muhammad. 1985. Yuk, Menulis Cerpen, Yuk. Yogyakarta: Shalahuddin Press.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

1 komentar:

rahasia cinta mengatakan...

buka"eng gonku
princebutterfly1.blogspot.com

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faizatur Rohmah - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger