Home » » Cerpen "Kebohongan yang Terakhir" Karya Rahini Ridwan

Cerpen "Kebohongan yang Terakhir" Karya Rahini Ridwan

By: Faizatur Rohmah
CERPEN “KEBOHONGAN YANG TERAKHIR”
KARYA RAHINI RIDWAN
(Pendekatan Sosiologis)
Perkembangan kritik sastra Indonesia dalam dekade tahun 1980-an ditandai dengan munculnya beberapa pembicaraan mengenai sosiologi sastra atau pendekatan sosiologis terhadap karya sastra. Dalam hal ini, kritik sastra sesungguhnya mencoba memanfaatkan disiplin ilmu lain(sosiologi) untuk memberi penjelasan lebih mendalam mengenai salah satu gambaran kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai hubungan kritik sastra dengan sosiologi muncul karena ada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Masalah mengenai hubungan sosiologi (masyarakat) dengan sastra telah cukup jelas dipaparkan Rene Wellek dan Austin Warren (TosKesusastraan, 1989) Sapardi Djoko Damono (Sosiologi Sastra: SebuahPengantar, 1984) atau Andre Hardjana (Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, 1981).
Pemahaman atas karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, Kebudayaan atau peradaban yang menghasilkanya. Dikatakannya juga bahwa karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dan faktor-faktor sosial dan kultural. Pernyataan itu mengisyaratkan perlunya menghubungkan faktor sosial-budaya dalam usaha memahami karya selengkapnya. Dan hubungan ini akan tampak bahwa dalam beberapa ungkapan sastra sebagai cermin masyarakat mempunyai nilai kebenaran. Apalagi jika ternyata kita tidak memperoleh bahan tulisan tentang karya itu (Grebstein, 1968).
Menurut Rifattre (1978), suatu karya sastra tidak diciptakan dari ruang yang kosong dan hama. Sastra tidak berasan dan ketiadaan kemudian diciptakan oleh pengarang.
Cerpen ”Kebohongan yang Terakhir” karya Rahini Ridwan merupakan cerpen pilihan kompas 1970-1980, yang termuat dalam buku Dua Kelamin bagi Midin. Ridwan sebagai pengarang mengangkat suatu cerita berdasarkan fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Cerpen ini menceritakan tentang seseorang yang mempunyai kebiasaan berbohong. Seringkali tokoh Aku dalam cerpen ini berbohong sehingga masyarakat di lingkungan tempatnya tinggal mencibirnya sebagai pembohong. Dia tidak pernah merasa malu dengan kebohongan yang dibuat, menurut dia kebohongan adalah prestasi karena dengan begitu punya predikat, status dan kontak sosial sebagai pembohong. Suatu malam yang menjadi puncak kebohongan yang dilakukan tokoh Aku, yaitu saat dia mendatangi setiap rumah orang sekampung dan berkata pada mereka bahwa pak lurah Nurdin selaku lurah dikampungnya telah meninggal. Mendengar pemberitahuan yang seperti itu seluruh warga percaya. Setelah mengetahui kebohongan yang dilakukan tokoh aku, seluruh warga menghakiminya di pendopo dan selesai kejadian itu, ibu tokoh Aku meninggal.
Membaca cerpen ”Kebohongan yang Terakhir” menggambarkan sebuah konflik yang terjadi dalam masyarakat. Adanya konflik tersebut berhubungan dengan kehidupan tokoh utama yang kurang perhatian dari ibunya, itu disebabkan karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya yang sering sakit-sakitan. Kurangnya perhatian yang diterima tokoh utama dalam cerpen, membuatnya melakukan kebiasaan yang tak terpuji tapi disenanginya yaitu berbohong. Hal tersebut menjadikan tokoh utama kurang dapat di terima di lingkungan masyarakat, karena adanya faktor tidak suka dari prilaku sang tokoh. Tapi walaupun demikian, pengarang menghadirkan prilaku positif dari tokoh utama yaitu dia tidak pernah membohongi ibunya.
Dari masalah yang diangkat pengarang dalam cerpen, dapat dilihat bahwa fenomena sosial yang terjadi hanya berasal dari satu konflik yaitu masalah kebohongan. Di mana konflik tersebut sengaja di buat oleh tokoh utama yang mengakibatkan kampung menjadi ribut. Tidak pernah ada penyesalan dari perbuatan yang dilakukannya, tapi dia malah senang jika masalah yang dibuatnya berhasil. Dari situ dapat diketahui realita ”kehidupan” dan ”lingkungan” yang terjadi dalam masyarakat.
Ridwan sebagai pengarang cerpen “Kebohongan yang Terakhir” menghubungkan konflik dalam cerpen dengan masyrakat pada masa itu, sehingga masyarakat ikut terlibat didalamnya. Di samping itu, pengarang juga menceritakan kehidupan yang dialami tokoh utama secara detail. Namun, kehidupan tentang masyarakat tidak begitu diceritakan dalam cerpen ini, hanya terlihat secara implisit.
Lingkungan yang digambarkan pengarang dalam cerpen terlihat alami, seperti tempat tinggal yang masih menggunakan gubuk-gubuk sederhana. Dengan begitu pembaca dapat ikut merasakan suasana yang terjadi. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat juga dimanfaatkan pengarang dalam cerpen ini. Hal ini tampak pada kalimat “Entah berapa ratus orang dengan muka tegang dan marah telah berjejal memenuhi pendopo”. Dari kalimat itu dapat diketahui bahwa ketika terjadi suatu masalah di kampung, seluruh warga pergi ke pendopo untuk menyelesaikannya bersama. Tradisi seperti itu mencerminkan realita sosial yang terjadi dalam cerpen “Kebohongan yang Terakhir”.
Setelah membaca cerpen ini pembaca dapat menarik pemahaman bahwa cerita ini bukanlah semata-mata kenyataan yang diceritakan, namun hanya rekaan dari pengarangnya. Di mana tujuan pengarang yaitu agar pembaca dapat mengambil manfaat dari peristiwa yang terjadi dalam cerpen. Di samping itu pengarang juga memberikan informasi, bahwa kebohongan yang dilakukan tokoh utama adalah kebohongan yang terakhir, yang mana kebohongan adalah perilaku yang biasa dilakukan tokoh utama sedangkan yang terakhir adalah untuk yang terakhir kalinya karena musibah besar telah menimpanya sehingga membuatnya sangat menyesal.
Melalui cerpen ini pula, pengarang menyampaikan suatu amanat bahwa dalam kehidupan ini setiap kebohongan pasti akan menimbulkan dampak buruk dan menjadikan orang lain tidak percaya. Oleh sebab itu, hendaknya menjauhi perilaku berbohong karena sekali saja orang dibohongi, kemungkinan besar orang tersebut tidak akan pernah percaya dengan orang yang membohonginya. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada tiga kutipan berikut.
Sekali waktu, suatu malam yang dingin. Disinilah puncak kebohonganku yang paling besar, yang akhirnya membuat semua orang tak lagi percaya padaku. Kudatangi setiap pintu rumah orang sekampung, kuketuk keras-keras dan tergesa-gesa. Kukatakan pada mereka: ”Pak Lurah Nurdin sudah meninggal!”
...............................................................................................................

Samar-samar dalam sinar teplok yang redup , kudapati ibuku terjatuh, telungkup di bawah dipan bambu. Dari mulutnya keluar darah hitam. Kuusap wajahnya. Dingin Ah, aku hampir menjerit. Ia telah meninggal.
...............................................................................................................

Dalam kegelapan. Batinku meronta. Tak tahu apa yang harus kubuat. Akankah kuketuk lagi setiap pintu rumah mereka dan kukatakan ibuku telah meninggal? Akankah mereka percaya bahwa kali ini-walau hanya untuk kali ini saja-aku berkata tentang hal yang sebenarnya? Akankah mereka bersedia membuka pintu untukku yang kembali menyampaikan berita tentang kematian?

Selain itu, dalam cerpen ”Kebohongan yang Terakhir”, pengarang juga menyampaikan suatu pesan tentang kematian yaitu maut tidak pernah berbohong. Dalam cerpen ini pengarang juga memberi pesan secara implisit bahwa berbohong juga ada batasnya, sehingga dapat disimpulkan berbohong tentang kematian orang lain akan sangat fatal dampaknya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.
”Ah, tidak mungkin secepat itu beliau meninggal,” kata yang lain. ”Masya Allah!” jawabku tegang. ”Kapankah maut pernah kompromi dengan manusia?” Akhirnya mereka semua percaya. Aku berhasil. Malam itu juga seluruh kampung menjadi sibuk, ramai, dan masing-masing bergegas menuju rumah duka, rumah Pak Lurah Nurdin. Aku tersenyum puas sambil menikmati rokok klintingan di tempat tidur.

Kutipan diatas memberikan gambaran bahwa kebohongan tentang kematian orang lain akan menimbulkan masalah besar dalam suatu masyarakat. Dalam cerpen ini orang yang menjadi sasaran kebohongan tokoh utama adalah Pak Lurah Nurdin selaku lurah di kampungnya. Dari penjelasan kutipan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu dampak yang akan di timbulkan, sehingga tidak merugikan orang lain.





Daftar Rujukan:
Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980. 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Grebstein. 1968. Pendekatan sastra, (Online), (http://zainuddinfanani.wordpress.com/2000/02/14/pendekatan-sastra/), diakses pada 2 Januari 2012.
Rifattre. 1978. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra, (Online), (http://aminuddin.blogspot.com/1995/10/01/pengantar-aspresiasi-karya-sastra/), diakses pada 2 Januari 2012.


















Pertanyaan Pengantar Sastra:
1. Apa tema utama yang akan disampaikan pengarang dalam cerpen tersebut? Apakah tema yang disampaikan berkaitan dengan konteks masyarakat pada saat cerpen tersebut dilahirkan (hingga saat ini)? Jelaskan!
2. Berkaitan dengan tokoh dalam cerpen, setujukah anda dengan sikap/ tindakan/ perilaku yang dilakukan oleh tokoh utamanya? Jelaskan jawaban anda!?
3. Cerpen yang anda pilih adalah cerpen terbaik kompas pada tahun tertentu. Menurut pertimbangan Anda, mengapa cerpen tersebut dipilih oleh kompas sebagai cerpen yang terbaik?
4. Kutiplah salah satu alenia yang menurut anda menarik? Beri alasan!

Jawaban:
1. Tema utama yang pengarang sampaikan yaitu tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Ya, karena konflik yang dihadirkan pengarang dalam cerpen menyangkut kehidupan masyarakat pada suatau kampung.
2. Tidak, karena tokoh utamanya mempunyai kebiasaan yang tidak terpuji yaitu berbohong. Perilaku tokoh utama tidak mencerminkan seseorang yang dapat dipercaya, sifatnya yang suka berbohong sangat merugikan orang lain, sehingga masyarakat dikampungnya sulit untuk menerimanya.
3. Menurut saya, karena cerpen tersebut menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami pembaca. Di samping itu cerita yang ada dalam cerpen berhubungan dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
4. “walau demikian kelakuanku di luar rumah, tapi didalam rumah sendiri aku tak pernah membohongi ibuku.”
Menurut saya kutipan diatas menarik karena perilaku tokoh utama yang selalu berbohong, tapi saat di rumah dia tidak pernah membohongi ibunya. Dari situ kita dapat mengetahui bahwa seburuk-buruknya perilaku seseorang pasti tidak akan tega menyakiti hati ibunya dan tidak semua orang yang perilakunya jelek tidak mempunyai perilaku yang baik.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faizatur Rohmah - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger