“Siap tidak siap
kamu harus tinggal di pesantren”
“Tapi, yah.”
Aku sebenarnya
enggan mengiyakan permintaan ayah. Kalau bukan karena perintah ibu,
mungkin aku sudah membantah. Ayah terlalu terburu-buru mendaftarkan
aku di pesantren. Bayangkan aku masih kelas tiga Sekolah Dasar, usia
yang seharusnya aku gunakan untuk bersenang-senang dan mulai mengenal
hal yang baru. Tapi aku tak pernah menolak keinginan ibu karena itu
aku menurut saja dengan apa yang dikatakan ayah.
Aku anak kdtiga dari
empat bersaudara. Kata ibu aku berbeda dengan ketiga saudaraku. Kakak
perempuanku memiliki wajah yang mirip dengan ayah, kakak laki-laki
memiliki sifat seperti ibu, sedang adikku memiliki karakter seperti
ayah. Aku memiliki kulit yang hitam, tubuh yang pendek, dan wajahku
tidak mirip sedikitpun dengan ayah dan ibu. Begitulah kenapa aku
dinilai berbeda dengan keluargaku.Walaupun begitu, aku tidak pernah
berpikir untuk merubah sifatku, karena aku merasa bangga dengan aku
yang seperti ini
Dulu ketika aku
duduk ditaman kanak-kanak sifat nakal sudah mulai tumbuh dalam
diriku. Di rumah aku sering membuat masalah. Misalnya menambahkan
garam yang banyak pada masakan ibu, mengambil uang belanja ibu di
kotak plastik di dalam lemari dapur, mengotori rumah dengan kertas
yang aku bentuk pesawat, burung, dan sejenisnya, menyembunyikan
seragam milik kakak perempuanku ketika dia hendak bersiap-siap ke
sekolah, menyuruh adikku mencoret-coret tembok dan mengempesi ban
sepeda motor ayah ketika akan berangkat bekerja.
Kenakalanku
berkanjut ketika aku duduk di Sekolah Dasar, aku semakin
menjadi-jadi. Semua orang mungkin merasa sangat terganggu dengan
adanya aku. Di sekolah aku pernah memberi lem di kursi guru, menaruh
tikus di celah bangku teman-teman, mengajak teman laki-laki
bertengkar dan taruhan, membuat keributan ketika pelajaran
berlangsung, menggoda teman perempuan, menantang kakak kelas adu
kejantanan, dan masih banyak masalah-masalah yang kubuat. Aku selalu
mecari celah untuk membuat masalah. Banyak sekali hal buruk yang aku
lakukan yang membuat jengkel keluargaku. Bahkan aku sering dimarahi
tetangga akibat ulahku, dan tak jarang pula guru-guruku memberikan
hukuman padaku. Tapi, aku tak merasa malu – tak sedikitpun –
merasa malu dengan masalah yang kubuat.
Menurutku nakal
adalah suatu prestasi yang tidak dimiliki semua orang. Banyak orang
takut dengan orang nakal karena itu aku tak pernah malu menjadi anak
nakal. Nakal adalah suatu kebanggaan yang harus dilakukan seumur
hidup sekali. Itu yang ada dibenakku.
Mungkin itu alasan
ayah memasukkan aku kepesantren di usiaku yang masih belia. Agar aku
bisa berubah dan tidak merepotkan orang tua serta orang disekitarku
karena sifat burukku.
“Di pesantren mana
aku akan tinggal?”
“Nanti ketika
sampai di sana kamu akan tahu, pokoknya di daerah Ponorogo.”
Dan, berangkatlah
kami dari kampung dengan becak menuju terminal bus. Barang yang kami
bawa adalah perlengkapanku selama di Pesantren terutama oleh-oleh
buat Kyai. Aku hanya diantar ayah karena ibu harus menjaga adik di
rumah dan kakakku harus berangkat sekolah. Ayah membawa kardus isi
pakaian dan tas ransel besar isi buku. Tangan kananku sekardus wingko
yang dibungkus plastik, sedang tangan kiriku sebotol air putih.
“Terminal,
berapa?” ayah menawar becak. Aku tak tahu kemana kita akan pergi.
Baru ketika di becak, kedua kaki menumpang di atas kardus isi
pakaian, memangku sekardus wingko, ayah berkata.
“Teman ayah
bilang, kita hanya memberikan alamat ini ke kernet
bus, nanti kernet
akan
memberi petunjuk jalan pada kita”. Saat itu aku baru tahu ternyata
ayah juga belum tahu pesantren yang akan aku tempati nanti selama
enam tahun ke depan.
Dalam perjalanan,
kepalaku sangat pusing. Sopir yang ugal-ugalan
membuat semua penumpang was-was. Ayahku sudah tertidur pulas dengan
tas ransel besar dipangkuannya. Aku pun menyamakan diri seperti ayah.
“Ponorogo…Ponorogo…Ponorogo…”
“Ponorogo pak”,
kernet membangunkan ayah. Dengan refleks
aku
dan ayah langsung terbangun. Sebelum keluar dari bus, kernet memberi
arah jalan yang harus dilewati.
Pintu keluar
terminal Ponorogo begitu jauh dari bus kami, sehingga beban di
tangaku serasa sangat berat. Sedangkan ayah dengan beban yang lebih
berat di belakangku, aku berjalan secepat mungkin mengikuti arus
orang.
“Ju! Tunggu ayah!”
teriak ayah. Aku terus berjalan mengikuti arus orang tanpa
menghiraukan ayah, pikiran nakalku kembali terbersit. Aku
menghilangkan diri dari ayah agar ayah kerepotan mencariku.
“Ayaaaaaaaaah”
teriakku ke arah ayah ketika aku sampai di pintu keluar. Aku tertawa
melihat ayah yang bingung mencari asal suaraku. Hingga akhirnya ayah
menyadari keberadaanku, aku hendak berlari lagi, namun tiba-tiba
Praaak,
sebongkah
kayu besar menghantam kepalaku membuatku terjatuh. Saat itu kepalaku
langsung terasa berat, namun aku masih menyadari ketika ayah
berteriak menyebut namaku bersamaan dengan orang asing yang merebut
tas di tanganku dan langsung berlari.
Ketika aku sadarkan
diri, aku sudah berada di atas kasur dengan warna ruangan dan
perlengkapan serba putih, kepalaku diperban.
“Ayah” aku
memanggil ayah yang berada disampingku.
“Ju, kamu sudah
sadar nak?”
“Aku dimana yah?
Aku kenapa?”
“Ini di rumah
sakit. Sudah, kamu istirahat saja dulu, kepalamu pasti masih sakit”
ayahku tersenyum, dengan matanya yang sembab dan wajah yang tak
ceria, aku tahu bahwa ayah sangat menghawatirkanku. Aku terdiam,
mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Dengan kepala yang terasa
sangat berat, aku meyadari semua ini adalah akibat ulah nakalku yang
tak bisa ku kendalikan, dalam pikiranku terpikir ada keinginan untuk
merubah diri. Terasa sudah bosan mendengarkan orang tua dan
tetangga-tetanggaku yang sering memarahiku. Aku ingin memulai hidup
baru yang lebih baik di pesantren. Dan aku tidak ingin kecelakaan ini
terulang kembali.
Malang, 22 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar