Pendahuluan
Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di
sekitarnya (Ismanto, 2003: 59). Oleh karena itu, kehadiran
karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang
mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di
sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur
tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan
di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah sebagai
lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya.
Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat
langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang
dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.
Novel
karya ahmad Tohari dengan tema budaya yang berseting perjuangan hidup
seorang perempuan berhasil diselesaikan, novel tersebut berjudul “
Ronggeng Dukuh Paruk”.
Novel ini berlatarbelakang tentang sebuah kebudayaan di daerah
tertentu. Bagaimana pengaruh kebudayaan itu bagi masyarakat.
Disamping itu, novel ini menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan
bermasyarakat, yaitu dipergunakan sebagai literatur dengan
pesan-pesan yang ada di dalamnya. Pesan yang berusaha digarap oleh
pengarang. Novel yang bertema kebudayaan merupakan satu dari trilogi
yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini mengambil cerita tentang
seorang ronggeng dengan kehidupannya dan bagaimana dia di dalam
masyarakat. Perjuangan seorang perempuan di dalam meniti pilihan
hidupnya.
Pembahasan
Ronggeng
Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang
ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini berlatar tempat di Dukuh
Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil yang merupakan
bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Sedangkan, latar waktunya
adalah sekitar tahun 1965-an.
Tema
Dari berbagai
masalah, novel Ronggeng
Dukuh Paruk
(RDP) dapat dikelompokkan menjadi dua masalah pokok, yaitu masalah
budaya, adat istiadat dan keterbelakangan. Masalah adat dalam RDP
diperjelas seperti dalam kutipan berikut.
Adat Dukuk Paruk
mengajarkan, kerja sama antara ketiga laki-laki itu harus berhenti di
sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga
memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut (RDP: 11)
Dari uraian diatas
dapat diketahui bahwa kerja sama yang dilakukan bersama untuk
memperoleh suatu tujuan, harus berakhir ketika tujuan tersebut telah
dicapai. Hal itu dilakuakan untuk menemukan pemenang, siapa yang
layak memperoleh bagian yang lebih banyak dari apa yang diperoleh,
dan ketika pemenang ditentukan maka tidak ada protes diantara mereka,
karena sudah merupakan adat dari daerah Dukuh Paruk. Menanggapi hal
itu dapat disimpilkan bahwa tidak ada budaya gotong royong di RDP,
yang ada hanyalah kerja sama kemudian kemudian bersaing untuk menjadi
pemenang.
Dari masalah adat
ini dapat diangkat tema mayor, yaitu bahwa adat masyarakat Dukuh
Paruk merupakan aturan yang harus dilestarikan oleh orang-orang
seketurunan Ki Secamenggala yang menjadi nenek moyang masyarakat
Dukuh Paruk.
Masalah
keterbelakangan daerah dalam RDP terlihat dari kutipan berikut ini.
Entah sampai kapan
pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk.
Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit,
serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah (RDP: 79)
Dari uraian tersebut
diketahui bahwa tema pokok dalam RDP, yaitu pertentangan antara
keramat Ki Secamenggala dengan kaum terpelajar. Masyarakat Dukuh
Paruk yang karena kebodohannya tidak pernah menolak nasib yang
diberikan alam, meraka selalu memuja Kubur Ki Secamenggala yang
terletak di punggung bukit kecil di Tengah Dukuh Paruk. Kubur Ki
Secamenggala tersebut menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka.
Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan
pola tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. Hal itu
menggambarkan bahwa masyarakat Dukuh Paruk tidak mengalami
perkembangan dalam keilmuan, mereka hanya meneruskan tradisi yang
diciptakan oleh nenek moyang, yaitu Ki Secamenggala. Budaya tersebut
digambarkan pengarang dalam novel ini dengan mengangkat tema budaya
ronggeng yang tidak dapat terpisahkan dari dukuh paruk.
Pengarang menjadikan
Dukuh Paruk pendukuhan yang terkenal dengan dunia peronggengan. Dukuh
paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk karena ronggeng merupakan
ciri khas dari pendukuhan Dukuh paruk. Ronggeng yang diceritakan
dalam novel tersebut bernama srintil. Dari awal Bab di Novel
menceritakan dari srintil masih kecil hingga dia menjadi Ronggeng
Dukuh Paruk, dia dipercaya sebagai seorang ronggeng sejati yang
kemasukan indang
ronggeng. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia
peronggengan. Selain itu ada kepercayaan bahwa srintil dilahirkan di
Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secemenggala dengan tugas menjadi
Ronggeng. Sehingga dapat disimpulkan Dukuh Paruk hanya lengkap ketika
ada keramat ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah,
dan khusunya ada ronggeng bersama perangkat calungnya.
Latar
Latar Tempat
Novel RDP berlatar
utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Latar tempat ini
terlihat dalam kutipan berikut.
Dua pululuh tiga
rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang seketurunan.
Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah
dagingnya (RDP: 10)
Dari kutipan diatas
dapat diketahui bahwa latar tempat di dalam rumah novel RDP terjadi
di Dukuh Paruk sedangkan latar tempat di luar rumah tidak ditemukan
dalam novel. Adanya dua puluh tiga rumah di pendukuhan menggambarkan
bahwa Dukuh Paruk merupakan pemukiman kecil yang keberadaannya
ditempat terpencil. Dari kutipan diatas juga terlihat jelas bahwa
masyarakat Dukuh Paruk dihuni oleh masyarakat seketurunan, yang mana
Ki Secamenggala adalah orang pertama yang tinggal di Dukuh Paruk
menjadi nenek moyang mereka. Latar utama yang terjadi di Dukuh paruk
memunculkan latar pendukung. Hal ini terdapat dalam latar berikut.
Di tepi kampung
Di tepi kampung ini
menjadi latar rasus dan temannya Darsun dan Warta mencabut batang
singkong yang menjadi cerita pertama yang terdapat dalam novel (RDP:
10).
Di pelataran yang
membatu di bawah pohon nangka
Tempat tersebut
merupakan tempat srintil sering bermain dengan mendedangkan lagu
kebanggan para ronggeng. Selain itu di bawah pohon nangka srintil
sering menari dan bertembang (RDP: 13).
Di halaman rumah
Kartareja
Tempat ini menjadi
bagian dari upacara sacral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh
Paruk sebelum menuju pekuburan dukuh paruk (RDP: 45)
Di Pekuburan Ki
Secamenggala
Latar ini syarat
srintil untuk menjadi seorang ronggeng yaitu srintil melakukan
upacara pemandian di pekuburan ki secamenggala (RDP: 46)
Pasar Dawuan
Tempat ini adalah
tempat yang dituju rasus ketika meninggalkan Dukuh paruk. Hal ini
secara implicit terdapat dalam kutipan berikut.
“Sampai hari-hari
pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang
kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat
(RDP: 84).”
Kutipan diatas
menggambarkan bahwa ketika rasus meninggalkan Dukuh Paruk, dia
menghabiskan hari-harinya di pasar Dawuan sebagai pengupas singkong.
Dengan pekerjaan itu rasus dapat bertahan hidup dari mendapatkan upah
pedagang singkong. Tapi tak kemudian dia menjadi seorang tobang.
Di Hutan
Tempat ini menjadi
tempat berburu Rasus, Sersan slamet dan Kopral Pujo (RDP: 95)
Di Rumah Sakarya
Latar ini menjadi
tempat pertama yang di datangi oleh perampok ketika ingin merampok
harta milik srintil, tapi saat itu srinti sedang berada di rumah
kartareja, hingga akhirnya perampok berbelok ke rumah kartareja (RDP:
101)
Di Beranda Rumah
Nenek Rasus
Tempat ini
menggambarkan ketika rasus pulang kerumah neneknya ketika dia selesai
menangkap perampok yang ada di Dukuh Paruk, tapi kemudian di kembali
menjadi tobang
(RDP:
103)
Latar Waktu
Dukuh Paruk adalah
pemukiman di tengah hamparan sawah yang luas terdapat dua puluh tiga
rumah, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Cerita dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk tidak punya tanggal tapi novel trilogi ini
terjadi tahun 1965. Hal ini tercermin ketika srintil terlibat dalam
kekalutan politik pada tahun 1965. Sedang latar terjadinya peristiwa
kematian sebagian warga Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek
terjadi tahun 1946. Hal
ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada
kutipan berikut.
Seandainya ada
seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat
mengira-ngira saai itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun
1964. Semua penghuni pendukuhan itu telah tidur pulas, kecuali
santayib, ayah srintil (RDP: 21).
Kutipan diatas
mengambarkan bahwa kematian sebagian masyarakat Dukuh paruk terjadi
pada 1946 yang mana saat saat itu srintil masih kecil. Dalam novel
ini seseorang yang disalahkan atas terjadinya kematian masyarakat
Dukuh paruk akibat tempe bongkrek ada santayib. Pengarang sengaja
mengahadirkan cerita ini untuk menggambarkan pembaca dengan bencana
yang pernah menimpa Dukuh Paruk, serta mengingatkan ronggeng terakhir
di Dukuh Paruk yang mati ketika srintil masih kecil, yang kemudian
ronggeng tersebut digantikan oleh srintil.
Latar waktu dalam
novel RDP juga terjadi tahun 1960. Hal ini tergambar pada kutipan
berikut.
Tahun 1960 wilayah
kecamatan Dawuan tidak aman. Perampok dengan kekerasan senjata sering
terjadi. Tidak jarang perampok membakar rumah korbannya (RDP: 90).
Kutipan di atas
menggambarkan peristiwa fenomenal yang terjadi dalam novel RDP tidak
hanya kematian akibat tempe bongkrek, tapi peristiwa perampokan yang
terjadi di Dawuan. Peristiwa tersebut masyarakat Dawuan khususnya dan
rasus tokoh pendatang dari Dukuh Paruk.
Adapun Latar waktu
yang tergambar dari novel Ronggeng Dukuh paruk diantaranya sebagai
berikut.
Sore hari
Waktu ini tergambar
dari kutipan berikut.
Ketiganya patuh.
Ceria di bawah pohon nagnka itu belanjut sampai matahari menyentuh
garis cakrawala (RDP: 14).
Kutipan diatas
menceritakan tentang Rasus, Darsun, dan warta ketika mengiringi
srintil menari hingga sore hari. Pengarang menggambarkan waktu ini
dengan bahasa yang sederhana yaitu “matahari menyentuh garis
cakrawala”.
Tengah malam
Waktu tengah malam
tergambar dari kutipan berikut.
Seandainya ada
seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat
mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun
1946 (RDP:21).
Kutipan diatas
mengambarkan malam sebelum terjadinya keracunan tempe bongkrek yang
dialami masyarakat Dukuh Paruk. Waktu yang ditegaskan dalam kutipan
di atas adalah tengah malam, yang mana waktu tersebut menjadi latar
waktu dalam novel ini.
Tengah hari (Siang)
Latar waktu tengah
hari terlihat dalam kutipan berikut.
Namun semuanya
berubah menjelang tengah hari. Seorang anak berlari-lari dari sawah
sambil memegangi perut (RDP: 24)
Kutipan di atas
menegaskan bahwa racun dalam tempe bongkrek mulai bereaksi ketika
tengah hari dimana setelah masyarakat Dukuh Paruk selesai melakukan
aktivitas di sawah. Dalam kutipan tersebut latar waktu yang terjadi
tengah hari.
Pagi
Latar waktu pagi
digambarkan dalam kutipan berikut.
Matahari mulai
kembali pada lintasannya di garis khatulistiwa. Angin tenggara tidak
lagi bertiup (RDP:44)
Kutipan di atas
merupakan salah satu latar dalam novel RDP ketika waktu pagi, yang
menggambarkan waktu pagi telah terasa.
Malam hari
Waktu malam hari
tergambar dari kutipan berikut.
Karena gelap aku tak
dapat melihat dengan jelas.
Dari kutipan di atas
dapat diketahui bahwa waktu terjadinya ketika malam hari. Dengan
adanya kata gelap yang memperjelas latar waktu tersebut.
Latar waktu yang
disebutkan di atas merupakan waktu yang terdapat dalam novel RDP,
sebenarnya dari latar waktu tersebut ada yang lebih dari satu. Tapi
penulis hanya mengambil salah satu sebagai perwakilan.
Tokoh dan
Penokohan
Novel Ronggeng Dukuh
Paruk menyajikan gaya penokohan naratif, yaitu cara mendeskripsikan
watak tokoh cerita yang diambil alih oleh seorang pencerita tunggal,
yaitu Rasus. Dalam novel RDP, pencerita memaparkan watak tokoh-tokoh
cerita dan menambahkan komentar tentang watak tersebut.
Tokoh utama
Tokoh utama dalam
novel RDP adalah Rasus, pengarang menampilkan rasus sebagai narrator
dalam peristiwa novel RDP sedang srintil ditampilkan sebagai tokoh
yang diceritakan Rasus. Tokoh
Rasus merupakan tokoh yang serba tahu akan segala peristiwa dalam
cerita itu.
Rasus dilukiskan
sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status
kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah,
kurang pengetahuan serta mudah rapuh. Hal
ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada
kutipan berikut.
Aku
tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang
anak dari Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal
buruk yang amat dibencinya. Jadiaku hanya bisa mengumpat dalam hati
dan meludah. Asu
buntung!
(RDP: 53)
Dalam
kutipan di atas watak rapuh Rasus tampak jelas dalam pengakuannya
bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh ketidakmampuannya melawan
hukum pasti di Dukuh Paruk yang harus dilakukan seorang ronggeng
yaitu malam bukak-klambu.
Rasus
harus merelakan orang yang dicintainya yaitu srintil untuk
menyelesaikan persyaratan terakhir menjadi seorang ronggeng yang
bernama bukak-klambu.
Menghadapi
hal itu rarus tidak dapat berbuat apa-apa, dia hanya dapat pasrah
pada apa yang akan terjadi pada srintil.
Tokoh
Pembantu Utama
Tokoh
pembantu utama dalam novel RDP adalah srintil, pengarang
menggambarkan srintil sebagai seorang
ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang
sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan srintil serta kesempurnaan
fisik yang dimilikinya.
Mulutnya
mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil
dibedaki. Alis yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya
membuatnya kelihatan seperti boneka. (RDP: 18)
Pengarang
dalam kutipan di atas menampilkan tokoh utama Srintil sebagai seorang
ronggeng yang sempurna, yaitu dengan kecantikan dan fisik yang
dimilikinya. Srintil yang sebelumnya hanya anak Dukuh Paruk biasa
yang tidak mempunyai status kebangsaan dijadikan pengarang sebagai
perempuan mempunyai status yang tinggi ketika menjadi ronggeng. Hal
tersebut menimbulkan perubahan watak yang dimiliki Srintil. Dulu
srintil yang sering bermain bersama Rasus, Warta dan Darsun tapi
setelah menjadi seorang ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk
bermain bersama mereka. Dari situ sangat terlihat perubahan sifat
srintil.
Tokoh
Bawahan
Tokoh
bawahan menurut Grimes (dalam panuti Sudjiman, 1988: 19), merupakan
tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh
utama. Dalam novel RDP memiliki sembilan tokoh bawahan dari analisis
novel yang dilakukan. Tokoh bawahan dalam novel RDP diantaranya:
Santayib
memiliki sifat keras, tidak mudah putus asa, dan penyayang.
Istri
santayib mempunyai sifat baik, patuh, dan penyayang.
Nenek
Rasus,
memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
Sakarya,
(kakek Srintil) memiliki sifat kolot, keras, dan penyayang
Nyai
Sakarya
(nenek Srintil) mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli
kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya
sebagai rakyat kecil.
Sakum
memiliki sifat
tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
Ki
Kertareja
memiliki sifat kolot, keras, penyayang, licik.
Nyai
Kartareja memiliki sifat materialistis,
pandai membujuk dan licik.
Sersan
Pujo
mempunyai sifat baik dan tegas.
Alur Cerita
Cerita dalam novel
RDP di buku pertama yang berjudul Catatan Buat Emak terdapat 4 bab.
Bagian pertama novel RDP diawali dengan peristiwa yang menunjukkan
alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk
akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan
berikut.
Sebelas tahun yang
lalu ketika srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup
tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman yang
kecil itu lengang, amat lengang. (RDP: 21)
Kutipan di atas
memberi gambaran bahwa kejadian malapetaka yang membunuh sebagian
masyarakat Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek terjadi
sebelas tahun yang lalu yaitu ketika srintil masih kecil. Kutipan di
atas juga menjadi paragraf awal novel dalam penceritaan tentang
malapetaka tempe bongkrek. Sehingga dapat diketahui bahwa penceritaan
tentang malapetaka tempe bongkrek dalam novel menggunakan alur
mundur.
Sedangkan pada
bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan
tentang inti dari cerita novel RDP, yaitu kisah Srintil dengan Rasus
dan kisah Srintil yang menjadi Ronggeng baru setelah tidak adanya
Ronggeng selama 11 tahun serta kebingungan rasus akan asal-usul
ibunya yang menghilang sejak ia kecil. Adanya alur maju terlihat dari
kutipan berikut.
Sudah dua bulan
Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada
dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut
dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. (RDP: 43)
Kutipan di atas
menjelaskan tentang srintil yang sudah menjadi ronggeng. Dari kutipan
tersebut dapat diketahui bahwa alur begerak maju sampai akhir cerita,
yaitu dari srintil yang dulunya masih kecil saat malapetaka tempe
bongkrek dan sekarang sudah berusia 11 tahun menjadi seorang
ronggeng.
Tahap-tahap alur
perkembangan alur secara rinci terdiri dari lima bagian sebagai
berikut.
1) Perkenalan
Perkenalan dalam
novel RDP pada buku pertama yang berjudul Catatan Buat Emak terdapat
4 bab. Dalam bab pertama Rasus, srintil, santayib, dan sakarya
diperkenalkan, bab pertama menceritakan tentang kehidupan rasus dan
srintil ketika masih kecil yang harus di tinggal oleh kedua orang tua
mereka karena peristiwa keracunan tempe bongkrek yang menimpa warga
Dukuh Paruk. Kemudian pada bab kedua menceritakan perihal kematian
Emak rasus dan kehidupan Ki Secamenggala, dalam bab dua emak rasus,
nenek rasus, kartareja, Nyai kartareja diperkenalkan. Dalam bab
ketiga membicarakan tentang sayembara bukak
klambu, bab
ini Dower dan Sulam diperkenalkan. Pada bab keempat tokoh utama
dibicarakan, dalam bab ini Sersan slamet dan Kopral Pujo
diperkenlakan.
2)
Timbulnya
Konflik
Konflik
utama
Ronggeng Dukuh Paruk,
yaitu malapetaka keracunan tempe bongkrek yang membunuh sebagian
masyarakat Dukuh Paruk termasuk kematian ronggeng Dukuh paruk yang
terakhir serta penabuh gendang. Rasus sebagai tokoh utama yang juga
mengalami malapetaka tersebut. Munculnya konflik lain ditandai ketika
srintil mulai menjadi ronggeng baru, saat itu kehidupan srintil mulai
berubah. Dari yang dulunya sering bermain bersama Rasus, Warta,
Darsun, tapi setelah menjadi ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk
bermain. Menanggapi hal itu Rasus mulai renggang dengan srintil,
wanita yang disukainya.
Peningkatan
konflik
Konflik
meningkat pada bab dua dan tiga. Konflik utama dikembangkan dengan
kuat pada bab tiga, yaitu ketika srintil harus menyelesaikan syarat
terakhir menjadi seorang ronggeng, syarat terakhir yang harus
dipenuhi itu bernama bukak-klambu.
Sebuah
syarat yang akan menggoyahkan hubungan Rasus dan Srintil.
Hal itu memunculkan kebencian yang mendalam bagi rasus atas semua
kebudayaan yang ada di Dukuh paruk.
Klimaks
Puncak permasalahan
terjadi ketika srintil telah menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk.
Itu tandanya srintil menjadi milik orang banyak dan rasus sebagai
seorang laki-laki yang menyukainya harus merelakan.
Pemecahan
masalah atau Penyelesaian
Penyelesaian bagian
pertama novel RDP yaitu ketika Rasus pergi meninggalkan Dukuh. Rasus
merasa dukuh paruk bertindak semena-mena dan hanya menciptakan
kesengsaraan baginya. Sebagai seorang anak yang menghubungkan diri
emaknya dengan diri srintil, Dukuh Paruk membuat noda dalam hidupnya.
Kepergian Rasus
untuk menentukan pilihan-pilihan. Pilihan-pilihan itulah yang
nantinya akan mengubah segalanya, tentang Srintil, asal-usul ibunya,
dan juga tujuan hidupnya.
Berdasarkan
tahap-tahap alur yang diuraikan di atas dapat disimpulkan alur yang
terdapat dalam novel RDP buku pertama Catatan Buat Emak menggunakan
alur campuran.
Sudut Pandang
Berdasarkan beberapa
pandangan tentang pusat pengisahan, dapat diperoleh gambaran bahwa
ada beberapa kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh pengarang dalam
menceritakan ceritanya melalui pusat pengisahan, seperti halnya dalam
novel RDP pada bagian pertama menggunakan sudut pandang orang ketiga
serba tahu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Ia merasa srintil
telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak bisa
lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka. Tetapi
Rasus tak berkata apapun. (RDP: 20)
Pengarang dalam
kutipan di atas ikut terlibat dalam cerita sekaligus sebagai
pengamat. Penggunaan orang ketiga dalam novel ini dapat dikatakan
logis, dalam gaya penceritaan orang ketiga serta serba tahu karena
pengarang berada di luar cerita, pengarang mengetahui batin tokoh
utama, seperti tokoh Rasus ketika menyaksikan pentas menari srintil.
Pengarang seperti ikut merasakan apa yang dirasakan Rasus, yaitu
perasaan hati Rasus.
Sedangkan pada
bagian kedua sampai seterusnya ditampilkan dengan Sudut pandang orang
pertama pelaku utama, yaitu Rasus yang di sebut “aku”. “Aku”
yang bercerita dalam novel RDP mempunyai dua kemungkinan. Pertama,
“aku” pencerita yang berkedudukan sebagai pengarang yang menyusun
cerita. Kedua, “aku” tokoh utama yang mempunyai kedudukan yang
dominan pada cerita.
Penggunaan sudut
pandang orang pertama pelaku utama terlihat jelas dalam kutipan
berikut.
Aku mengenal dengan
sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika kartareja
bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun
pisang di luar rumah. (RDP: 59-60)
Pada kutipan di atas
ditunjukkan dengan tidak adanya komentar pengarang dalam cerita.
Tokoh utama bercerita tentang dirinya sendiri melalui tingkah laku
yang diperankannya. Disamping itu, dari pemahaman tokoh aku tentang
Dukuh Paruk memperkuat dugaan sedut pandang pada bab dua sampai empat
menggunakan orang pertama pelaku utama.
Simbol
Dalam nover RDP
karya Ahmad Tohari terdapat beberapa symbol. Simbol-simbol
tersebut diciptakan pengarang sebagai gambaran ide, pikiran, atau
perasaannya. Simbol itulah yang harus ditafsirkan atau dimaknai
sendiri oleh pembaca. Simbol-simbol yang akan dibahas dalam kajian
kali ini adalah sebagai bdrikut.
Pegeblug
Pagebluk
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti wabah (penyakit),
tapi dalam novel RDP diartikan kejadian yang terjadi karena kutuk roh
Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Pemaknaan kata
Pegeblug
sebagai
kutuk roh Ki Secamenggala didasarkan pada kutipan berikut.
“ Tidak bisa!
Siapa tahu kejadian ini adalah Pegeblug.
Siapa
tahu kejadian ini karena kutuk roh Ki Secamenggala yang telah lama
tidak diberi sesaji. Siapa tahu!” (RDP: 26)
Kutipan di atas
menjelaskan makna arti Pegeblug
dalam
novel RDP. Dari situ dapat diketahui bahwa Pegeblug
dalam novel RDP adalah sebuah simbol yang digunakan untuk mewakili
kutuk roh Ki Secamenggala.
Bukak-klambu
Bukak-klambu
merupakan sebuah
frasa dalam bahsa jawa yang terdiri atas dua kata yaitu bukak dan
klambu. Bukak dalam bahasa jawa yang diindonesiaka berarti membuka.
Sementara klambu juga kata yang berasal dari bahasa jawa, yang ketika
diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebuah kain lebar yang
menutupi ranjang tempat tidur. Sehingga frasa “Bukak-klambu”dapat
diartikan sebagai membuka kain yang menutupi ranjang. Namun, dalam
cerpen RDP, Bukak-klambu
bukanlah membuka kain yang menutupi
ranjang melainkan semacap sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun.
Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang
dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng,
berhak menikmati viginitas itu. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan
berikut ini.
Memenangkan sayembara Bukak-klambu
bukan
hanya menyangkut renjana berahi. (RDP: 57)
Kutipan di atas
menjelaskan bahwa Bukak-klambu
sebuah
simbol yang terdapat dalam novel RDP yang memiliki makna yaitu malam
yang harus dijalani seorang ronggeng bersama laki-laki sebagai
persyaratan terakhir menjadi seorang ronggeng.
Sumpah
serapah
Sumpah serapah dalam novel RDP karya
ahmad Tohari merupakan sebuah simbol. Sumpah serapah merupakan
gabungan dari dua kata yaitu kata sumpah dan serapah. sumpah dalam
Kamus Besar Bahsa Indonesia berarti pernyataan
yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada
sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan
kesungguhannya).
Sementara serapah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
kutuk atau kutukan.
Namun, dalam novel RDP, sumpah
serapah merupakan sebuah simbol yang berarti perkataan kotor.
Pemaknaan ini didasarkan pada kutipan teks di bawah ini.
Keperawanan Srintil
disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! Pikirku. (RDP: 51)
Kutipan di atas
menggambarkan sumpah serapah yang diartikan perkataan kotor.
Pengarang dalam kutipan tersebut menggunakan kata “bajingan” dan
“bajul buntung” sebagai wujud dari perkataan kotor yang dalam
novel RDP disebut sumpah serapah. Sehingga dapat diketahui bahwa
simbol sumpah serapah dalam novel mewakili perkataan kotor yang
terdapat dalam novel RDP.
Ironi
Ironi memiliki arti
sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan
kebalikan dari fakta tersebut. Dalam novel RDP terdapat beberapa
ironi.
Pada akhir
permainan, rasus, warta, dan darsun minta upah. Kali ini mereka yang
berebut menciumi pipi srintil. Perawan kecil iti melayani bagaimana
laiknya seorang ronggeng. (RDP: 14)
Kutipan di atas
menggambarkan kehidupan di Dukuh Paruk begitu bebas, tidak ada
tatakrama yang berlaku, jika hal tersebut dikaitkan dengan zaman
sekarang, memunculkan kontradiksi. Di dukuh Paruk upah yang
didapatkan dengan ciuman pipi merupakan hal yang wajar tapi jika hal
tersebut dilakukan di zaman sekarang sangat betentangan dengan harga
diri. Pertentangan kehidupan juga terlihat dalamkutipan berikut.
Makin lama seorang
suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pila istrinya. Perempuan
semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki
jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya. (RDP: 39)
Kutipan di atas juga
menggambarkan perilaku yang bertentangan dengan kehidupan sekarang,
yaitu seorang istri yang merasa senang ketika suaminya dapat
bertayub(menari) dengan seorang ronggeng. Menanggapi hal tersebut,
seorang ronggeng ketika pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan
bagi perempuan Dukuh Paruk.
Hal tersebut sangat
bertolak belakang dengan kehidupan sekarang. Di zaman sekarang ketika
seorang suami menari dengan wanita selain istrinya akan mendapat
tuduhan selingkuh. Selain itu, Kehidupan ronggeng Dukuh Paruk yang
sangat mewah pada zamannya dikaitkan dengan kehidupan ronggeng zaman
sekarang yang akan menari ketika ada acara-acara tertentu.
Nilai dan Moral
Nilai yang
terkandung dalam novel RDP yaitu nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyatrakat,
peradaban, atau kebudayaan. Hal
ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada
kutipan berikut.
Orang-orang
yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah.
Mereka sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya
mereka tidak melihat pagelaran ronggeng. (RDP: 19)
Kutipan
di atas menggambarkan bahwa Dukuh Paruk begitu erat dengan budaya
pertunjukkan ronggeng. Adanya ronggeng merupakan pemersatu masyarakat
yang ada di Dukuh Paruk. Nilai budaya yang terdapat dalam novel juga
sangat erat dengan adat yang ada di Dukuh paruk.
Dukuh
Paruk yang identik dengan adanya ronggeng juga mengaitkan budayanya
dengan perilaku masyarakat, pertunjukkan ronggeng yang dihadirkan
dalam novel menimbulkan perilaku yang kurang dapat diterima di
masyarakat sekarang. Misalnya Dukuh Paruk dengan kemelaratannya,
keterbelakangannya, kebodohannya tanpa pengetahuan, di Dukuh paruk
hal seperti sudah biasa.
Sedangkan moral yang
terdapat dalam novel RDP yaitu moral yang didapat dari ajaran
pelbagai ajaran adat yang menguasai peputaran manusia atau disebut
moral terapan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Di belakangku Dukuh
Paruh diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana: keramat Ki
Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah, irama calung, dan seorang
ronggeng. (RDP: 107)
Melalui kutipan di
atas pengarang melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada
dalam alam pikiran mitis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan
ronggeng. Kutipan
di atas menggambarkan bagaimana moral yang tercipta di Dukuh paruk.
Dengan kemelaratan yang turun temurun tidak menumbuhkan semangat
masyarakat Dukuh Paruk untuk memperbaiki hidup. Tapi walaupun begitu
kehidupan mereka sangat bergantung pada pertunjukkan ronggeng yang
menghasilkan kesenangan pribadi.
Tingkah laku
masyarakat Dukuh Paruk yang biasa dengan sumpah serapah mencerminkan
kebiasaan yang dinilai tidak baik. Sehinggan moral yang terdapat
dalam novel RDP banyak membahas tentang bentuk moral etika, yaitu
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang
dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Penutup
Secara analisis,
novel Ronggeng dukuh Paruk dapat menambah pemahaman kepada pembaca
dalam menemukan unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik cerpen. Unsur
novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dianalisi yaitu tema,
latar, penokohan dan perwatakan, alur, sudut pandang, simbol, ironi,
dan nilai moral dalam novel.
Tema pokok dalam
RDP, yaitu pertentangan antara keramat Ki Secamenggala dengan kaum
terpelajar. Latar yang terjadi di Dukuh paruk. Tokoh utama Rasus dan
tokoh pembantu utama Srintil. Alur yang terjadi alur campuran dengan
menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Simbol yang
dimunculkan yaitu bukak-klambu,
sumpah serapah, dan pegeblug.
Ironi
yang di gambarkan tentang kontradiksi dengan kehidupan sekarang,
serta nilai moral tergambar kurang baik.
Sinopsis
Novel ”Ronggeng Dukuh Paruk” Karya
Ahmad Tohari
Dukuh Paruk adalah
sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun,warganya memiliki
suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang
senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah
terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga
Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan
masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat
kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah
memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main
bersama Rasus, Warta, Darsun.
Permainan menari
itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar
bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal
keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng
Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang
diakui oleh masyarakat. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan
kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan
selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik
masyarakat.
Sebagai seorang
ronggeng yang sah, Srintil harus menjalani serangkaian upacara
tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu,
yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu
memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa
ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil
telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi
lain, Rasus yang mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak
setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang
banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil
sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus
ternyata meninggalkan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak
besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya. Rasus yang
terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar
Dawuan,dan tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan
hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi
seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu
menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus
memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk,
lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat
menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng
Srintil.
Beberapa hari
singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan
keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan
tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin.
Pada saat fajar, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil
yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat
mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki
dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil
setiap hari tampak murung dan sikap Srintil menimbulkan keheranan
orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan
kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah
menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk.
Daftar Rujukan:
Tohari, A. 2004.
Ronggeng
Dukuh Paruk.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Aminuddin. 2011.
Pengantar
Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ekasiswanto, R. dan
Sugihastuti. 1999. Teori
Prosa Indonesia. Yogyakarta:
……